PejantanTangguh SPONSOR
Jumlah posting : 380 Age : 40 Lokasi : Makassar on the spot Job/hobbies : Carz, Modification Stuff, etc Registration date : 17.12.08
| Subyek: Harga Minyak Dunia Sun Dec 21, 2008 8:08 am | |
| Harga Minyak Tembus Titik Terendah
Menkeu Sebut Tiga Faktor Pemicu Krisis
JAKARTA - Peluang harga bahan bakar minyak (BBM) kembali turun kian terbuka lebar. Sebab, harga minyak mentah dunia terus menuju titik terendah baru. Jurus Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas produksi 2,2 juta barel per hari terbukti tak cukup ampuh untuk mengatrol harga emas hitam itu.
Di Bursa Berjangka New York (NYMEX), Jumat lalu (kemarin WIB), harga minyak jenis light sweet untuk pengiriman Januari ditransaksikan di level USD 33,44 per barel. Ini adalah harga minyak mentah terendah sejak 2 April 2004. Hingga kini, harga minyak telah anjlok 77 persen dari posisi puncak USD 147 per barel Juli silam.
Ekonom Ichsanuddin Noorsy menilai, harga premium saat ini memang bisa turun lebih besar. Sebab, harga Rp 5.000 per liter masih jauh dari harga pasar. "Seharusnya, harga premium bisa Rp 2.500 per liter jika pemerintah tidak mencari untung," kata Ichsan dalam diskusi bertajuk Harga BBM Turun, antara Politis dan Realistis di Jakarta Sabtu 19 Desember.
Dia khawatir, selisih harga yang cukup besar bisa menjadi peluang Pertamina untuk membiayai kepentingan politik menjelang 2009.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Thomas Darmawan menyatakan, penurunan harga BBM sangat efektif mendongkrak kinerja perekonomian. Menurut dia, penurunan harga solar dan premium mampu menurunkan harga pangan dan bahan pokok hingga lima persen.
Penurunan harga terutama terjadi pada bahan pokok nonkemasan seperti minyak goreng curah atau bahan pangan pertanian. "Ini karena biaya transportasi hampir seratus persen masuk dalam struktur biaya," tambah Thomas.
Kontribusi beban energi dalam struktur biaya industri makanan dan minuman berkisar 3�15 persen.
Thomas mengatakan, penurunan harga pangan dan bahan pokok memang berjalan lambat. Itu disebabkan pemerintah sedang memperketat impor. Padahal, sebagian besar bahan baku industri makanan dan minuman merupakan barang impor. Bahan makanan kemasan diperkirakan bakal turun pada 2009.
"Saat ini masih menggunakan stok lama. BBM menjadi salah satu kontribusi biaya makanan kemasan," imbuhnya.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa menambahkan, pemerintah seharusnya berada di depan untuk menciptakan stimulus ekonomi dari sisi fiskal. Itu harus dilakukan terutama pada saat sektor swasta masih lesu diterpa perlambatan ekonomi.
Karena belum mampu memberikan insentif fiskal dalam nominal besar, pemerintah harus memperbaiki kualitasnya.
"Insentif fiskal nilainya kecil. Yang terpenting sekarang, penyerapan dipercepat," katanya kepada Fajar kemarin. Erwin menjelaskan, perlambatan pertumbuhan industri masih berlanjut karena semua sektor mengurangi kapasitas produksinya.
Chief Economist Bank BNI Tony Prasetiantono menyebut, insentif fiskal berupa penurunan tarif pajak akan efektif mengurangi beban pengusaha. "Ini harus ditambah dengan percepatan dan kemudahan pembayaran restitusi pajak," ujar Tony.
Di sisi lain, otoritas moneter juga masih bisa mengambil peran mendongkrak pertumbuhan. Bank Indonesia (BI) dipercaya masih memiliki peluang melonggarkan likuiditas. "Inflasi akhir 2008 saya perkirakan 10,8 persen. Angka ini cukup membuat BI percaya diri untuk menurunkan BI rate ke arah 8 persen hingga kuartal pertama 2009 nanti," jelasnya.
Ekonom senior Indef Fadhil Hasan menilai, insentif fiskal saja tidak akan cukup untuk melawan perlambatan ekonomi global. "Harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur, terutama di wilayah kota dan lokasi-lokasi industri yang banyak menyerap tenaga kerja," katanya.
Untuk mengantisipasi pemutusan hubungan kerja (PHK), harus ada upaya mempermudah akses pembiayaan yang masuk ke sektor usaha mikro dan kecil. "Program KUR (kredit usaha rakyat) dan skema pembiyaan mikro dan kecil lainnya harus menjadi prioritas utama dalam program pemerintah pada 2009," tegas Fadhil.
Pemicu Krisis
Dalam simulasi penanganan krisis yang dilakukan Departemen Keuangan, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berakhir Jumat malam 19 Desember, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut tiga pemicu krisis yang patut diwaspadai. Yakni, inflasi, perlambatan ekonomi, dan nilai tukar.
Inflasi diperkirakan masih terkendali, terutama dengan terus menurunnya harga minyak. Bahkan, ke depan, sangat mungkin bisa terjadi deflasi. �Inflasi saat ini lebih merupakan positive side. Tapi, kita tetap waspada,� kata Sri Mulyani.
Yang mengkhawatirkan adalah pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan meleset ke bawah dari perkiraan 6 persen tahun depan. Menkeu mengatakan, sangat mungkin pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 4,5 persen.
Perlambatan ekonomi itu terutama dipicu penurunan harga-harga komoditas yang melemahkan industri. �Ini berujung pada PHK, yang membuat permintaan terhadap hasil industri turun,� jelasnya.
Menkeu menegaskan, setiap sektor memiliki sensitivitas berbeda terhadap tiga pemicu krisis tersebut. Plt Menko Perekonomian itu meminta dunia usaha segera memperhitungkan risiko tersebut untuk mengantisipasi perubahan yang bisa muncul secara drastis.
Selain tiga pemicu krisis yang berasal dari dalam negeri, pemerintah juga berpandangan bahwa kondisi ekonomi global masih akan menjadi trigger utama. "Jika pada krisis 1997�1998 trigger utamanya adalah kurs, saat ini kondisi global akan menjadi perhatian penting bagi pemerintah," terang Menkeu. (sof/oki) | |
|